Jumat, 23 November 2012

0 “Berbahasa Indonesia lah dengan baik dan benar”

“Berbahasa Indonesia lah dengan baik dan benar”.
Kalimat ini sudah sering kali kita baca, dengar, atau tulis. Terkesan sepele dan hanya sekadar formalitas. Tapi kalau diresapi benar-benar, sungguh dalam maknanya.
Apa sebenarnya maksud dari kalimat pertama di atas?
Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Meskipun berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini bahasa Indonesia, namun ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing kelompok menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Pemanfaatan ragam bahasa yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa inilah yang disebut berbahasa yang baik. Dapat dikatakan, berbahasa yang baik adalah berbahasa yang sesuai konteks.
Sementara berbahasa yang benar adalah jika pemakaian bahasa -dalam hal ini bahasa Indonesia- mengikuti kaidah yang dibakukan. Bahasa yang baik dan tepat sasaran tidak selalu menggunakan kaidah baku ini. Misalnya, pemakaian bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari tentu berbeda dengan pemakaian bahasa Indonesia dalam sebuah pidato formal.
Pengertian kalimat tersebut tentu juga mencakup bahasa tulisan. Meski mengaku suka menulis, tapi akan berkurang maknanya ketika kita tak benar-benar memahami dan menggunakan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Cobalah membuat satu tulisan dengan kata-kata yang disusun secara serampangan. Sungguh akan terasa tak enak dibaca.
Meski isi tulisan mungkin berisi, namun alih-alih memberi manfaat dan kesan bagi pembaca, tulisan kita hanya dibaca sekilas lalu ditinggalkan. Pembaca ingin buru-buru saja mengakhiri bacaannya, menangkap intinya saja, lalu ya sudah. Jika beberapa kali pembaca menemukan kesemrawutan berbahasa itu di tulisan kita, maka bukan tak mungkin pembaca akan benar-benar meninggalkan tulisan kita untuk seterusnya. “Capek bacanya“, mungkin itu yang dirasakan.
Saya bersyukur ketika masa-masa penulisan skripsi dulu, saya dibimbing oleh dua orang dosen yang sangat memerhatikan kaidah penulisan bahasa Indonesia dalam lingkup karya ilmiah. Beliau berdua ketat sekali soal penulisan ini. Salah sedikit, bahkan satu huruf atau tanda baca saja, akan langsung dikoreksi. Istilah asing yang lupa dimiringkan -dengan italic- atau hanya sekadar kata “yang”, “di” yang tak tepat penggunaannya, tak segan-segan mereka beri tanda merah. Mereka ternyata benar-benar memerhatikan karya tulis mahasiswanya. Bukan asal koreksi. Lebih dari itu, mereka menuntut kesempurnaan sebuah karya. Meski itu “hanya” sebuah skripsi. Dari pengalaman itu, saya benar-benar belajar tentang pentingnya kesempurnaan dalam menghasilkan sebuah karya tulis. Saya jadi cenderung perfeksionis kalau soal berbahasa tulis ini.
Untungnya, saya memang suka menulis dan senang kata-kata. Jadi koreksi-koreksi yang saya terima dari dua dosen saya itu justru menambah pengetahuan saya tentang penulisan dalam koridor bahasa Indonesia yang baik dan benar. Semua koreksi itu saya anggap ilmu yang memerkaya kecintaan saya akan bahasa Indonesia. Kebiasaan dikoreksi itu lambat laun juga membuat saya jadi si pengoreksi. Sedikit saja kesalahan berbahasa yang saya tangkap, akan coba saya koreksi sepanjang yang saya tahu.
Satu huruf yang kurang, salah, atau satu kata dan kalimat yang tak tepat penulisannya, akan membuat saya gatal untuk mengoreksi. Masalah kata-kata baku dan tidak baku, imbuhan yang tak tepat pakai, sampai penulisan kata-kata yang huruf awalnya luruh jika dimulai oleh “K”, “P”, “S”, “T”. Tak jarang, teman-teman dan keluarga yang tahu tentang kebiasaan saya ini menjuluki saya sebagai “guru Bahasa Indonesia”. Hahaha… Jadinya, saya sering dimintai pendapat tentang suatu kata atau tulisan tertentu. Tak apalah. Menjadi “guru Bahasa Indonesia” tentu asyik juga. Hehehe
Sering saat saya sedang menonton televisi dengan suami, saya menemukan ada kata yang dirasa kurang tepat atau kurang pas yang tertulis di news ticker atau yang dilafalkan pembaca berita dan presenter sebuah acara. Lalu kami akan mendiskusikannya. Bukan secara formal tentunya. Hehehe… Atau sambil jalan lalu melihat plang Apotek yang masih ditulis “Apotik”, Antre yang ditulis dengan “Antri” atau Praktik yang masih banyak ditulis dengan “Praktek”. Itu pun pernah jadi bahan obrolan. Tapi itu sudah menjadi sebuah kesenangan tersendiri bagi saya. Dari hal-hal kecil tersebut saya jadi merasa terlatih untuk lebih baik berbahasa. Lama kelamaan, suami saya juga jadi ikut-ikutan perfeksionis dalam berbahasa. Akhir-akhir ini, malah saya yang sering dikoreksi. Hehehe
Hal kesempurnaan berbahasa tulis ini tentunya juga penting dalam rangka penulisan selain karya ilmiah. Menulis di blog pun, meski hanya berisi uneg-uneg atau hal remeh temeh yang dijalani setiap hari, sebisanya tetap harus tunduk pada aturan berbahasa yang baik dan benar.
Bukan berarti harus berbahasa yang ketat atau kaku. Silakan saja menulis seperti saat sedang mengobrol. Tapi hendaknya konsisten dalam penulisan “aku” atau “saya”, “kau” atau “kamu” atau kata ganti lainnya. Konsisten juga untuk memilih gaya bahasanya. Kalau sejak awal bahasanya -bukan berarti bahasannya- cenderung serius, seterusnya begitu sampai akhir tulisan. Begitu juga jika sejak awal sudah ber-haha hihi dengan bahasa gaul, ya silakan saja. Jadi hal penting lain memang adalah konsistensi berbahasa. Boleh berbahasa gaul, menulis dengan gaya seperti bercakap-cakap dengan teman, namun harus diingat untuk menggunakannya sesuai konteks. Variasi jenis bahasa tulisan ini juga baik untuk melatih kreativitas kita sebagai penulis dan agar pembaca tak bosan membaca tulisan-tulisan kita yang semuanya terkesan seragam.
Dari gaya penulisan dan cara kita menulis, sedikit banyaknya pembaca bisa tahu siapa diri kita, bagaimana pemikiran kita, sampai seberapa luas pengetahuan dan wawasan yang kita miliki. Yang terakhir itu dimungkinkan dengan kekayaan perbendaharaan kata karena kebiasaan membaca. Sekilas kepribadian kita juga bisa terbaca dari kata-kata yang kita susun menjadi kalimat-kalimat, menjadi paragraph-paragraf, menjadi tulisan-tulisan. Hanya dari membaca beberapa tulisan kita saja, pembaca bisa menilai bagaimana diri kita. Seberapa besar minat kita dalam berbahasa serta belajar menggunakannya sesuai konteks dan penulisan yang baik dan benar, dapat terangkum dari tulisan-tulisan yang kita hasilkan.
Jadi, sebagai orang yang mengaku bertanah air dan berbangsa Indonesia, mari kita juga cerdas berbahasa Indonesia. Bukankah salah satu cara untuk menghargai sumpah para pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu adalah dengan mencintai bahasa Indonesia dan belajar menggunakannya sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar?

0 komentar:

Posting Komentar

 

wahyu sastra hanugroho bahasa indonesia Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates